Berawal dari sebuah pesan WhatsApp yang kami terima dari salah satu pengurus Seksi Komunikasi Sosial (Komsos) Paroki Kosambi Baru, akhirnya kami memberanikan diri untuk menuliskan kisah yang kami alami berdua, sekadar untuk berbagi.

Siapakah Kami?

Kami hanyalah sepasang suami istri seperti umat kebanyakan. Kami bukanlah aktivis gereja dan hanya datang ke gereja untuk mengikuti misa kudus mingguan.

Seseorang Mengetuk Pintu Pagar Kami

Kami tinggal di Metland Puri sejak menikah pada 2005 silam. Kisah ini bermula dari seorang tetangga yang tiba-tiba mengetuk pintu pagar rumah kami untuk menyapa dan bertanya apakah kami seorang Katolik. Saat itu, istri saya keluar membukakan pintu dan akhirnya berkenalan. Belakangan, kami baru mengetahui alasannya. Dia melihat salib yang tergantung di ruang tamu dan terlihat dari luar rumah.

We always say “No”

Setelah berkenalan, tetangga tersebut mengajak kami berdua untuk mengikuti retret pasutri. Secara spontan, saya mengatakan kalau kami tidak punya waktu karena sibuk dengan pekerjaan kantor. Namun, tetangga–yang secara usia sudah sangat senior–tersebut selalu mengajak dan menganjurkan kami untuk ikut retret pasutri, setiap kami bertemu dengannya. Kami pun sampai pada situasi dapat menolak dengan alasan kuat, yaitu karena saya sedang melanjutkan kuliah dan harus menghadiri kelas setiap Sabtu.

Kegigihan Tanpa Batas

Namun, kegigihan seorang tetangga tersebut tidak juga sirna untuk terus mengajak kami mengikuti retret pasutri. Hingga kuliah saya yang berlangsung selama 2 tahun itu selesai, dia tetap gigih mengajak kami. Hati kami pun luluh melihat kegigihannya dan berpikir “Kenapa, sih, dia begitu gigih mengajak kami?”, “Apa, sih, untungnya buat dia kalau kami ikut?”. Singkat cerita, akhirnya kami memutuskan untuk mengikuti retret pasutri dengan dorongan “rasa tidak enak” karena kegigihan tetangga kami.

Pemikiran yang Kurang Tepat

Saat itu, kami berdua berpikir tentang manfaat dari kegiatan retret pasutri karena merasa relasi kami saat itu dalam kondisi baik dan tidak ada masalah rumah tangga yang berarti. Kami merasa bahwa mengikuti retret pasutri hanya akan menjadi percuma.

Apa, sih, sebenarnya? Ngapain Aja?

Retret pasutri diselenggarakan oleh Komunitas Worldwide Marriage Encounter yang berada di bawah naungan Gereja Katolik. Belakangan, kami baru mengetahui kalau dalam retret 3 hari 2 malam tersebut, kami berdua sebagai pasutri benar-benar fokus melakukan refleksi mendalam mengenai komunikasi secara intim. Prosesnya hanya dilakukan berdua dengan pasangan dan bukan diskusi kelompok.

Kejutan Demi Kejutan

Selama 3 hari 2 malam, kami berdua banyak mengalami kejutan. Ada banyak hal yang belum pernah kami bahas berdua selama 10 tahun usia pernikahan. Akhirnya, kami menyadari adanya cara berkomunikasi yang jauh lebih baik untuk bertumbuh dalam relasi, baik dengan pasangan, anak, maupun orang tua.

“Ada banyak hal yang belum pernah kami bahas berdua selama 10 tahun usia pernikahan.”

Salah Benar vs Cinta Agape

Kami banyak belajar sudut pandang yang baru, dimana pertengkaran kami selama ini terlalu berfokus untuk mencari solusi atas benar dan salah. Di retret tersebut, kami mengerti bagaimana seharusnya bertumbuh dalam relasi yang baik dan berjuang bersama untuk memberikan cinta sejati kepada pasangan dan keluarga kita. Hal itu disebut cinta agape.

Awalnya Terpaksa

Setelah pulang dari retret pasutri, perasaan terpaksa dan “tidak enak” atas ajakan tetangga berubah menjadi rasa syukur karena dapat mengikutinya. Akhirnya, kami mau percaya bahwa ada campur tangan Tuhan yang membuat kami mau mengikuti kegiatan tersebut dengan tekad yang bulat.

Setelah Itu, Apa yang Terjadi?

Retret 3 hari 2 malam itu menjadi turning point dan fondasi pola komunikasi yang baru dengan pasangan dan keluarga. Hal yang menarik lagi ialah, setelah mengikuti retret tersebut, kami merasa memiliki keluarga baru dalam komunitas yang saling menguatkan untuk berjuang bersama. Meski demikian, kami sadar bahwa fondasi yang kami dapatkan di retret tersebut akan hilang dan lupa dengan sendirinya jika kami tidak memeliharanya. Dalam Komunitas Marriage Encounter ini, kami tidak sendiri dan akan selalu ada untuk teman-teman se-komunitas yang saling menguatkan.

“Retret 3 hari 2 malam itu menjadi turning point dan fondasi pola komunikasi yang baru dengan pasangan dan keluarga.”

Last but not least

Akhir kata dari sedikit kisah ini, kami hanya ingin berbagi pengalaman bahwa mengikuti retret pasutri Marriage Encounter merupakan suatu berkat yang sangat kami syukuri. Semoga semakin banyak teman-teman pasutri lainnya yang tergerak untuk mengikutinya. Kami yakin bahwa semua kegiatan rohani pada dasarnya adalah untuk suatu kebaikan. Melalui sharing singkat ini, kami mengajak seluruh teman-teman pasutri untuk dapat merasakan berkat yang sama dengan mengikuti retret tersebut.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Komsos Paroki Santo Matias Rasul, Komunitas Marriage Encounter, dan tentunya kepada tetangga kami yang luar biasa itu. Tuhan memberkati.

Sekilas Tentang Penulis