“Deasy, jangan membuang makanan…,” teguran mama menghentikan tangan Deasy yang hendak membuang ubi dari mangkoknya ke tempat sampah. Deasy cemberut. 

“Sini, nak…,” panggil mama.

Deasy menurut, dia duduk kembali, bergabung di meja makan dengan mama, papa, dan Merry, adiknya.

“Ah, mama pasti mau mulai pidato lagi deh, kasih nasihat ini lah… itu lah…,” Deasy merajuk. 

“Eh, Deasy, tidak baik bicara seperti itu kepada mama, nak,” timpal papa. 

Meski sebenarnya enggan, akhirnya Deasy menurut, dia duduk di samping Merry – yang melirik padanya sambil tersenyum kecil. Entah dia senang kakaknya bakal dapat teguran, atau dia merasa kasihan kakaknya bisa kena marah karena hendak membuang sisa kolak yang tadi dimakannya. Hmmm… Deasy mencoba menebak dalam hati.

Deasy sebenarnya menyadari telah berbuat salah dengan mengambil kolak terlalu banyak, yang pada akhirnya dia tidak sanggup menghabiskannya. Sampai kemudian dia hendak membuang sisa ubi, yang memang biasanya tidak dia sukai. 

Kolak buatan mama memang enak sekali. Apalagi dimakan sore-sore begini, saat berkumpul bersama keluarga. Deasy selalu mengambil pisang dan kolang kaling sebanyak-banyaknya, karena memang itulah kesukaannya. Ubi hanya diambilnya sedikit. Tapi entah kenapa tadi dia mengambil ubi lebih banyak dari biasanya.

Sepertinya… tadi gara-gara aku merasa lapar deh. Jadi semua makanan tampak terasa lezat di depan mataku, pikir Deasy. 

“Nah, Deasy, lain kali kalau ambil makanan secukupnya saja. Jangan ambil banyak-banyak, tapi kemudian tidak dihabiskan. Bahkan hampir kamu buang pula. Membuang makanan itu dosa,” ujar mama dengan lembut. 

Hati Deasy terasa lega, untung mama tidak marah. 

“Kenapa membuang makanan aja jadi dosa buat kita, ma?” tanya Deasy. 

“Makanan itu diperlukan manusia untuk menunjang kehidupan. Jika kita membuang makanan, kita telah merampas hak orang lain akan makanan tersebut, Deasy,” jawab mama.  

Mama melanjutkan, “Kamu ingat kan nak, saat misa peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) lalu, dalam homili romo mengingatkan kita supaya mampu menguasai diri, makan secukupnya, tidak berlebihan, dan makin berempati kepada orang lain yang membutuhkan”.

Deasy mengangguk-angguk. Merry pun ikut menyimak.

Mama melanjutkan, kita harus bersyukur karena Tuhan telah melimpahkan sumber pangan bagi manusia. Untuk itu, kita juga harus menjaga dan merawatnya. Dalam soal makan, kita diminta tidak berlebihan. Supaya kita dapat berempati terhadap sesama, yang mungkin saat ini belum mendapat makanan cukup. Bahkan, mungkin saat ini mereka terbelit masalah kelaparan, bisa karena minimnya sumber pangan, seperti saudara-saudara yang ada di daerah kering atau daerah konflik.

Deasy termangu. Dia memang mendengarkan homili romo saat misa HPS itu. Bahkan saat itu juga ditayangkan video, dimana Bapa Uskup menyampaikan Surat Gembala. Namun, mungkin saja dirinya belum benar-benar memahami situasi itu. 

Dalam video Surat Gembala yang ditayangkan melalui layar gereja saat itu, Deasy memang sedikit ingat saat Bapa Uskup mengingatkan kembali himbauan Bapa Paus supaya umat Katolik meneruskan kebiasaan menghargai pangan dengan mengupayakan hidup sehat serta tidak membuang makanan. 

Beberapa tahun belakangan, gereja paroki Deasy selalu memperingati Hari Pangan Sedunia, yang tepatnya jatuh setiap tanggal 16 Oktober. Gereja menggelar ungkapan syukur HPS dengan membuat acara yang menarik, misal mengenalkan sumber pangan lokal, menyajikan berbagai makanan khas Nusantara, hingga mengkreasikan bahan pangan lokal untuk membuat aneka makanan.

Pengenalan berbagai pangan lokal itu diharapkan mampu memberi wawasan baru bagi umat tentang beragamnya sumber pangan kita. Lebih lanjut, umat juga diharapkan makin dewasa dalam menggunakan sumber pangan dan berempati kepada sesama, yang mungkin saja saat ini masih perlu dibantu untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut. Kita diharapkan makin berbelarasa terhadap sesama yang membutuhkan uluran tangan kita.

Sekecil apapun perbuatan kita, semisal tidak membuang makanan, berbagi makanan kepada yang membutuhkan, menghemat penggunaan air, berani berkata “cukup” untuk makanan, sangatlah berarti karena dijiwai oleh iman. Perbuatan tersebut menunjukkan bagaimana iman kekatolikan kita makin bertumbuh dan berbuah baik.  

Deasy akhirnya sadar dan dia berjanji dalam hatinya untuk mengingat pesan dan ajaran gereja dan juga nasihat-nasihat mama dan papanya, bahwa sekecil apa pun perbuatan kita akan turut menyelamatan sumber pangan.

“Nah, Deasy, sepertinya sekarang kamu sudah paham kenapa membuang makanan termasuk perbuatan dosa,” kata papa yang sedari tadi melihat Deasy tampak berpikir serius. 

“Eh… iya pa, Deasy sekarang paham. Maafkan Deasy yang selama ini kadang-kadang makan masih bersisa dan akhirnya terbuang,” ujar Deasy lirih.

Deasy melirik ke Merry sambil berucap, “Kayaknya Merry juga kadang gak habis kalau makan, dan dia juga pernah membuang makanan”. 

Merry melotot ke arah kakaknya. Tak mau kalah dia menimpali, “Ah, kakak mah cari kawan buat dimarahin nih”.

“Papa dan mama gak marah Deasy, Merry,” ujar papa sambil melanjutkan, “sebagai orangtua, kami berkewajiban menjelaskan ke anak-anak jika ada yang kurang pas”.

Deasy dan Merry pun mengangguk bersamaan tanda paham dan setuju. “Sepakat pa…,” kata mereka serempak sambil tertawa renyah.  Papa dan mama pun tersenyum melihat tingkah mereka. 

Sekilas Tentang Penulis