Ibadat Jumat Agung, Kenapa Bukan Misa?
“Ikut Misa Jumat Agung yang jam berapa?”. Sekilas tidak ada yang salah dengan pertanyaan tersebut. Ya, pertanyaan yang sering dilontarkan umat ketika memasuki Pekan Suci Paskah: Minggu Palma hingga Minggu Paskah. Entah sebuah ketidaksengajaan atau tidak, pertanyaan tersebut sedikit keliru untuk diucapkan.
Dari Tri Hari Suci (Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci), Jumat Agung menjadi hari yang cukup “spesial”. Tidak hanya karena tanggal di kalender yang berwarna merah, Jumat Agung bagi umat beriman menjadi tanda penghormatan sengsara dan wafat Yesus di kayu salib.
Pada hari yang sama, umat Katolik seluruh dunia tidak merayakan Ekaristi. Tidak ada kain altar apalagi dekorasi, iringan nyanyian khas Perayaan Ekaristi pun bergeming. Bahkan, seluruh bentuk pelayanan sakramen lain kecuali Sakramen Tobat dan Perminyakan Orang Sakit ikut ditiadakan.
Gereja pada Jumat Agung sejatinya ingin mengajak kita untuk mengenang dan merenungkan peristiwa salib oleh Yesus sendiri melalui tiga tahapan: Liturgi Sabda, Penghormatan Salib, dan Komuni Kudus.
Jumat Agung menjadi peristiwa yang menyadarkan kita semua akan segala kelemahan dan dosa kita. Sebagai sabda yang menjadi manusia, penderitaan dan wafat Yesus merupakan konsekuensi akhir nan tragis yang harus Ia alami.
Kematian dan kesengsaraan-Nya di salib dapat dimaknai pula sebagai Yesus yang sedang berada di alam maut dan “mengosongkan” Gereja-Nya. Salib masih menjadi tanda kehinaan, kebinasaan, dan kesengsaraan, sebelum akhirnya menjadi tanda keselamatan.
Oleh sebab itu, bukan lupa atau terlewat, imam sebagai “In Persona Christi” (konsep Kristus dalam diri imam) pada Ibadat Jumat Agung juga meniadakan berkat dan tanda salib, baik pada bagian awal maupun akhir.
Lantas Mengapa Bukan Perayaan Ekaristi?
Berbicara tentang penggunaan istilah, Perayaan Ekaristi merujuk pada perayaan syukur atas karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus. Sementara misa–sebagai sebutan untuk Perayaan Ekaristi sejak abad ke-5–digunakan sebagai istilah yang menghubungkan perayaan atau pengungkapan iman dalam kehidupan sehari-hari.
Keduanya sah-sah saja. Hanya saja, ada perbedaan pada aspek penekanan keduanya. Yang jelas, Ekaristi merupakan suatu perjamuan sakramental melalui tubuh dan darah Kristus. Sebagai umat beriman, kita percaya bahwa Yesus yang mengundang kita sendiri dalam perjamuan tersebut.
Ekaristi merupakan puncak acara seluruh orang kristiani. Ekaristi menjadi perayaan umat yang menjadi tanda dan sarana persatuan Allah dengan manusia. Melalui itulah, peristiwa pertemuan dan kebersamaan Allah bersama umat-Nya mengalami puncak pengungkapannya. Sebagai subjek pelaksana, Kristus bersama Gereja hadir dalam Perayaan Ekaristi.
Tubuh dan darah Kristus hadir melalui rupa roti dan anggur yang telah diubah melalui konsekrasi. Dengan menjadi makanan, Tuhan masuk pada kehidupan manusia sampai sedalam-dalamnya. Hal tersebut agar manusia bersatu dan bersama Dia, serta berani berjuang dalam kehidupan sehari-hari berkat penyertaan-Nya.
Pada Jumat Agung, tidak ada konsekrasi yang dilakukan. Oleh sebab itu, Jumat Agung tidak disebut Perayaan Ekaristi. Namun, komuni pada Jumat Agung tetap diberikan. Sakramen Mahakudus yang dipersembahkan berasal dari konsekrasi hari sebelumnya yakni Kamis Putih.
Hal ini ditegaskan kembali oleh Santo Thomas Aquinas yang mengungkapkan bahwa sakramen yang ada merupakan gambaran dan representasi sengsara Tuhan kita. Oleh karena itu, di hari peringatan sengsara tersebut, sakramen tidak dikonsekrasikan.
Gereja tentu tidak akan kehilangan esensi sengsara Yesus itu sendiri karena adanya penerimaan tubuh Kristus yang dicadangkan dari hari sebelumnya. Dalam hal ini, meski tanpa konsekrasi, Gereja pada Jumat Agung tetap ingin mempersatukan diri dengan Kristus yang memberikan tubuh dan darah-Nya untuk kita.
Referensi
Aquinas, Thomas. Summa Theologica. Diterjemahkan oleh Fathers of the English Dominican Province, 1920.
https://www.newadvent.org/summa/4083.htm
Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Martasudjita, Emanuel. Mencintai Yesus Kristus. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Martasudjita, Emanuel. Sakramen-Sakramen Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Ndano, Yanto. “Ibadat Jumat Agung, Mengapa Romo Tidak Buat Tanda Salib?”. Parokicitraraya.org, April 11, 2020.
https://parokicitraraya.org/2020/04/11/ibadat-jumat-agung-mengapa-romo-tidak-buat-tanda-salib/
Ponomban, Terry. “Memahami Trihari Suci: Jumat Agung, Tanpa Tanda Salib dan Perayaan Ekaristi (2).” Sesawi.net, April 10, 2020.
https://www.sesawi.net/memahami-trihari-suci-jumat-agung-tanpa-tanda-salib-dan-perayaan-ekaristi-2/